PELAYANAN FARMASI KLINIK (PERMENKES 72 2016)
A. Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi
klinik merupakan pelayanan
langsung yang
diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan
outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping
diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan
outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping
karena Obat,
untuk tujuan keselamatan
pasien (patient
safety)
sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin.
Pelayanan
farmasi klinik yang dilakukan meliputi:
1. pengkajian dan pelayanan
Resep;
2. penelusuran riwayat
penggunaan Obat;
3. rekonsiliasi Obat;
4. Pelayanan Informasi Obat
(PIO);
5. konseling;
6. visite;
7. Pemantauan Terapi Obat
(PTO);
8. Monitoring Efek Samping Obat
(MESO);
9. Evaluasi Penggunaan Obat
(EPO);
10. dispensing sediaan steril; dan
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);
1. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pengkajian Resep
dilakukan untuk menganalisa
adanya masalah terkait
Obat, bila ditemukan
masalah terkait Obat harus
dikonsultasikan kepada dokter
penulis Resep. Apoteker harus
melakukan pengkajian Resep
sesuai persyaratan administrasi, persyaratan
farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat
jalan.
Persyaratan administrasi
meliputi:
a. nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan
tinggi badan
pasien;
pasien;
b. nama, nomor ijin, alamat
dan paraf dokter;
c. tanggal Resep; dan
d. ruangan/unit asal Resep.
Persyaratan farmasetik
meliputi:
a. nama Obat, bentuk dan
kekuatan sediaan;
b. dosis dan Jumlah Obat;
c. stabilitas; dan
d. aturan dan cara penggunaan.
Persyaratan klinis meliputi:
Persyaratan klinis meliputi:
a. ketepatan indikasi, dosis
dan waktu penggunaan Obat;
b. duplikasi pengobatan;
c. alergi dan Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD);
d. kontraindikasi;
dan
e. interaksi Obat.
Pelayanan Resep
dimulai dari penerimaan,
pemeriksaan ketersediaan, penyiapan
Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai termasuk peracikan Obat,
pemeriksaan, penyerahan
disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan Resep
dilakukan upaya pencegahan
terjadinya kesalahan
pemberian Obat (medication error).
Petunjuk teknis
mengenai pengkajian dan pelayanan
Resep
akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Penelusuran
riwayat penggunaan Obat
merupakan proses untuk mendapatkan informasi
mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain
yang pernah dan
sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari
wawancara atau data
rekam medik/pencatatan
penggunaan Obat pasien.
Tahapan penelusuran
riwayat penggunaan Obat:
a. membandingkan riwayat
penggunaan Obat dengan
data
rekam medik/pencatatan penggunaan Obat untuk
mengetahui perbedaan informasi penggunaan Obat;
rekam medik/pencatatan penggunaan Obat untuk
mengetahui perbedaan informasi penggunaan Obat;
b. melakukan
verifikasi riwayat penggunaan
Obat yang
diberikan oleh tenaga kesehatan lain dan memberikan
informasi tambahan jika diperlukan;
diberikan oleh tenaga kesehatan lain dan memberikan
informasi tambahan jika diperlukan;
c. mendokumentasikan adanya
alergi dan Reaksi
Obat yang
Tidak
Dikehendaki (ROTD);
d. mengidentifikasi potensi terjadinya
interaksi Obat;
e. melakukan penilaian terhadap
kepatuhan pasien dalam
menggunakan
Obat;
f. melakukan penilaian
rasionalitas Obat yang diresepkan;
g. melakukan penilaian terhadap pemahaman
pasien terhadap
Obat yang digunakan;
h. melakukan penilaian
adanya bukti penyalahgunaan Obat;
i. melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan
Obat;
j. memeriksa adanya kebutuhan
pasien terhadap Obat
dan
alat
bantu kepatuhan minum Obat (concordance aids);
k. mendokumentasikan Obat
yang digunakan pasien
sendiri
tanpa
sepengetahuan dokter; dan
l. mengidentifikasi terapi
lain, misalnya suplemen
dan
pengobatan
alternatif yang mungkin digunakan oleh pasien.
Kegiatan:
a. penelusuran riwayat penggunaan Obat kepada
pasien/keluarganya; dan
b. melakukan penilaian terhadap pengaturan
penggunaan Obat
pasien.
pasien.
Informasi yang harus
didapatkan:
a. nama
Obat (termasuk Obat non Resep), dosis, bentuk sediaan,
frekuensi penggunaan, indikasi dan lama penggunaan Obat;
frekuensi penggunaan, indikasi dan lama penggunaan Obat;
b. reaksi Obat yang tidak dikehendaki termasuk
riwayat alergi;
dan
dan
c. kepatuhan terhadap regimen penggunaan Obat
(jumlah Obat
yang
tersisa).
Petunjuk teknis mengenai
penelusuran riwayat penggunaan Obat akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
3. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi Obat
merupakan proses membandingkan
instruksi pengobatan dengan Obat yang telah didapat pasien.
Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan
Obat (medication error) seperti Obat tidak diberikan, duplikasi,
kesalahan dosis atau interaksi Obat. Kesalahan Obat (medication
error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah
Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada
pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke layanan kesehatan
primer dan sebaliknya.
instruksi pengobatan dengan Obat yang telah didapat pasien.
Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan
Obat (medication error) seperti Obat tidak diberikan, duplikasi,
kesalahan dosis atau interaksi Obat. Kesalahan Obat (medication
error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah
Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada
pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke layanan kesehatan
primer dan sebaliknya.
Tujuan dilakukannya
rekonsiliasi Obat adalah:
a. memastikan
informasi yang akurat
tentang Obat yang
digunakan pasien;
digunakan pasien;
b. mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak
terdokumentasinya
instruksi dokter; dan
c. mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat
tidak terbacanya
instruksi dokter.
Tahap proses
rekonsiliasi Obat yaitu:
a. Pengumpulan data
Mencatat data
dan memverifikasi Obat
yang sedang dan akan
digunakan pasien, meliputi
nama Obat, dosis, frekuensi,
rute, Obat mulai diberikan,
diganti, dilanjutkan dan dihentikan,
riwayat alergi pasien
serta efek samping Obat yang pernah terjadi. Khusus untuk data
alergi dan efek samping Obat,
dicatat tanggal kejadian,
Obat yang menyebabkan terjadinya
reaksi alergi dan efek samping, efek yang terjadi, dan tingkat keparahan.
Data riwayat penggunaan Obat didapatkan dari
pasien,
keluarga pasien, daftar Obat pasien, Obat yang ada pada
pasien, dan rekam medik/medication chart. Data Obat yang
dapat digunakan tidak lebih dari 3 (tiga) bulan sebelumnya.
keluarga pasien, daftar Obat pasien, Obat yang ada pada
pasien, dan rekam medik/medication chart. Data Obat yang
dapat digunakan tidak lebih dari 3 (tiga) bulan sebelumnya.
Semua
Obat yang digunakan
oleh pasien baik
Resep
maupun Obat bebas termasuk herbal harus dilakukan proses
rekonsiliasi.
maupun Obat bebas termasuk herbal harus dilakukan proses
rekonsiliasi.
b. Komparasi
Petugas kesehatan
membandingkan data Obat
yang
pernah, sedang dan akan digunakan. Discrepancy atau
pernah, sedang dan akan digunakan. Discrepancy atau
ketidakcocokan adalah bilamana ditemukan
ketidakcocokan/perbedaan diantara
data-data tersebut.
Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada Obat yang
hilang, berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada
Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada Obat yang
hilang, berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada
penjelasan
yang didokumentasikan pada rekam
medik
pasien. Ketidakcocokan ini dapat bersifat disengaja
(intentional) oleh dokter pada saat penulisan Resep maupun
pasien. Ketidakcocokan ini dapat bersifat disengaja
(intentional) oleh dokter pada saat penulisan Resep maupun
tidak disengaja (unintentional) dimana
dokter tidak tahu adanya perbedaan pada saat menuliskan Resep.
c. Melakukan
konfirmasi kepada dokter
jika menemukan
ketidaksesuaian
dokumentasi.
Bila ada ketidaksesuaian,
maka dokter harus dihubungi kurang
dari 24 jam.
Hal lain yang
harus dilakukan oleh Apoteker adalah:
1) menentukan
bahwa adanya perbedaan
tersebut
disengaja
atau tidak disengaja;
2) mendokumentasikan alasan
penghentian, penundaan,
atau
pengganti; dan
3) memberikan
tanda tangan, tanggal,
dan waktu
dilakukannya
rekonsilliasi Obat.
d. Komunikasi
Melakukan komunikasi dengan
pasien dan/atau keluarga pasien atau
perawat mengenai perubahan
terapi yang
terjadi. Apoteker bertanggung jawab terhadap informasi Obat yang diberikan.
Petunjuk teknis mengenai rekonsiliasi Obat
akan diatur lebih lanjut oleh
Direktur Jenderal.
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan
penyediaan
dan pemberian informasi,
rekomendasi Obat yang
independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang
dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, Apoteker, perawat,
profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar
Rumah Sakit.
independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang
dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, Apoteker, perawat,
profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar
Rumah Sakit.
PIO bertujuan untuk:
a. menyediakan informasi mengenai
Obat kepada pasien dan
tenaga kesehatan di lingkungan Rumah Sakit dan pihak
lain di luar Rumah Sakit;
tenaga kesehatan di lingkungan Rumah Sakit dan pihak
lain di luar Rumah Sakit;
b. menyediakan
informasi untuk membuat
kebijakan yang
berhubungan dengan Obat/Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai, terutama bagi
Komite/Tim Farmasi dan Terapi;
berhubungan dengan Obat/Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai, terutama bagi
Komite/Tim Farmasi dan Terapi;
c. menunjang penggunaan Obat
yang rasional.
Kegiatan
PIO meliputi:
a. menjawab pertanyaan;
b. menerbitkan buletin, leaflet, poster, newsletter;
c. menyediakan
informasi bagi Tim
Farmasi dan Terapi
sehubungan dengan penyusunan Formularium Rumah
Sakit;
d. bersama dengan Tim Penyuluhan Kesehatan
Rumah Sakit
(PKRS) melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat
jalan dan rawat inap;
(PKRS) melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat
jalan dan rawat inap;
e. melakukan
pendidikan berkelanjutan bagi
tenaga
kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya; dan
f. melakukan penelitian.
Faktor-faktor yang perlu
diperhatikan dalam PIO:
a. sumber daya manusia;
b. tempat; dan
c. perlengkapan.
Petunjuk
teknis mengenai Pelayanan
Informasi Obat akan diatur lebih lanjut oleh Direktur
Jenderal.
5. Konseling
Konseling Obat
adalah suatu aktivitas
pemberian nasihat
atau saran terkait terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada
pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan
maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat
dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan
pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif
memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap
Apoteker.
atau saran terkait terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada
pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan
maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat
dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan
pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif
memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap
Apoteker.
Pemberian konseling Obat bertujuan untuk
mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan
risiko reaksi Obat yang
tidak dikehendaki (ROTD), dan
meningkatkan costeffectiveness yang
pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi pasien (patient safety).
Secara khusus konseling
Obat ditujukan untuk:
a. meningkatkan hubungan kepercayaan antara
Apoteker dan
pasien;
pasien;
b. menunjukkan perhatian serta kepedulian
terhadap pasien;
c. membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan Obat;
d. membantu
pasien untuk mengatur
dan menyesuaikan
penggunaan Obat dengan penyakitnya;
penggunaan Obat dengan penyakitnya;
e. meningkatkan
kepatuhan pasien dalam
menjalani
pengobatan;
f. mencegah atau meminimalkan masalah terkait
Obat;
g. meningkatkan kemampuan pasien memecahkan
masalahnya
dalam
hal terapi;
h. mengerti permasalahan
dalam pengambilan keputusan; dan
i. membimbing dan mendidik pasien dalam
penggunaan Obat
sehingga
dapat mencapai tujuan
pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien.
Kegiatan dalam konseling
Obat meliputi:
a. membuka komunikasi antara
Apoteker dengan pasien;
b. mengidentifikasi tingkat
pemahaman pasien tentang
penggunaan Obat melalui Three Prime Questions;
penggunaan Obat melalui Three Prime Questions;
c. menggali informasi lebih lanjut dengan
memberi kesempatan
kepada
pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan
Obat;
d. memberikan penjelasan kepada pasien untuk
menyelesaikan
masalah
pengunaan Obat;
e. melakukan
verifikasi akhir dalam
rangka mengecek
pemahaman
pasien; dan
f. dokumentasi.
Faktor
yang perlu diperhatikan dalam konseling Obat:
a. Kriteria Pasien:
1) pasien kondisi
khusus (pediatri,
geriatri, gangguan
fungsi
ginjal, ibu hamil dan menyusui);
2) pasien
dengan terapi jangka
panjang/penyakit kronis
(TB,
DM, epilepsi, dan lain-lain);
3) pasien yang
menggunakan obat-obatan dengan
instruksi khusus (penggunaan kortiksteroid dengan
tappering down/off);
4) pasien yang
menggunakan Obat dengan indeks terapi
sempit
(digoksin, phenytoin);
5) pasien
yang menggunakan banyak
Obat (polifarmasi);
dan
6) pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan
rendah.
b. Sarana dan Peralatan:
1) ruangan atau tempat konseling; dan
2) alat bantu konseling (kartu pasien/catatan
konseling).
Petunjuk teknis
mengenai konseling akan
diatur lebih lanjut oleh
Direktur Jenderal
6. Visite
Visite merupakan
kegiatan kunjungan ke
pasien rawat
inap yang dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim
tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara
langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat, memantau
terapi Obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki,
meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan menyajikan
informasi Obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan
lainnya.
inap yang dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim
tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara
langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat, memantau
terapi Obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki,
meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan menyajikan
informasi Obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan
lainnya.
Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah
keluar
Rumah Sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai
dengan program Rumah Sakit yang biasa disebut dengan
Rumah Sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai
dengan program Rumah Sakit yang biasa disebut dengan
Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).
Sebelum melakukan kegiatan visite Apoteker harus
mempersiapkan diri
dengan mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi Obat
dari rekam medik atau sumber lain.
Petunjuk teknis mengenai visite akan diatur lebih lanjut
oleh Direktur
Jenderal.
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi
Obat (PTO) merupakan
suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan
terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
Tujuan PTO
adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD).
Kegiatan dalam PTO meliputi:
Kegiatan dalam PTO meliputi:
a. pengkajian
pemilihan Obat, dosis,
cara pemberian Obat,
respons terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
respons terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
b. pemberian rekomendasi penyelesaian masalah
terkait Obat;
dan
dan
c. pemantauan efektivitas dan efek samping terapi Obat.
Tahapan PTO:
a. pengumpulan data pasien;
b. identifikasi masalah
terkait Obat;
c. rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat;
d. pemantauan; dan
e. tindak lanjut.
Faktor yang harus
diperhatikan:
a. kemampuan
penelusuran informasi dan
penilaian kritis
terhadap bukti terkini dan terpercaya (Evidence Best
Medicine);
terhadap bukti terkini dan terpercaya (Evidence Best
Medicine);
b. kerahasiaan informasi;
dan
c. kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter
dan perawat).
Petunjuk teknis
mengenai pemantauan terapi
Obat akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping
Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap
Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis
lazim yang digunakan pada manusia
untuk tujuan profilaksis,
diagnosa dan terapi.
Efek Samping
Obat adalah reaksi Obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja
farmakologi.
MESO bertujuan:
a. menemukan
Efek Samping Obat (ESO)
sedini mungkin
terutama yang berat, tidak dikenal,
frekuensinya jarang;
b. menentukan
frekuensi dan insidensi
ESO yang sudah
dikenal dan yang baru saja ditemukan;
dikenal dan yang baru saja ditemukan;
c. mengenal semua
faktor yang mungkin
dapat
menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian
dan hebatnya
ESO;
ESO;
d. meminimalkan risiko
kejadian reaksi Obat
yang idak
dikehendaki; dan
dikehendaki; dan
e. mencegah
terulangnya kejadian
reaksi Obat yang tidak
dikehendaki.
Kegiatan pemantauan dan
pelaporan ESO:
a. mendeteksi
adanya kejadian reaksi
Obat yang tidak
dikehendaki (ESO);
dikehendaki (ESO);
b. mengidentifikasi obat-obatan
dan pasien yang
mempunyai
risiko tinggi mengalami ESO;
risiko tinggi mengalami ESO;
c. mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme
Naranjo;
d. mendiskusikan dan
mendokumentasikan ESO di
Tim/Sub
Komite/Tim Farmasi dan Terapi;
Komite/Tim Farmasi dan Terapi;
e. melaporkan ke Pusat
Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
Faktor
yang perlu diperhatikan:
a. kerjasama dengan Komite/Tim Farmasi dan
Terapi dan ruang
rawat; dan
rawat; dan
b. ketersediaan formulir Monitoring
Efek Samping Obat.
Petunjuk teknis
mengenai monitoring efek
samping Obat akan diatur lebih lanjut oleh Direktur
Jenderal.
9. Evaluasi Penggunaan Obat
(EPO)
Evaluasi Penggunaan
Obat (EPO) merupakan
program
evaluasi penggunaan Obat yang terstruktur dan
berkesinambungan secara
kualitatif dan kuantitatif.
Tujuan EPO yaitu:
Tujuan EPO yaitu:
a. mendapatkan
gambaran keadaan saat
ini atas pola
penggunaan Obat;
penggunaan Obat;
b. membandingkan pola penggunaan Obat pada
periode waktu
tertentu;
tertentu;
c. memberikan
masukan untuk perbaikan penggunaan Obat;
dan
d. menilai pengaruh intervensi atas pola
penggunaan Obat.
Kegiatan praktek EPO:
Kegiatan praktek EPO:
a. mengevaluasi pengggunaan
Obat secara kualitatif; dan
b. mengevaluasi pengggunaan Obat secara kuantitatif.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
a. indikator peresepan;
b. indikator pelayanan; dan
c. indikator fasilitas.
Petunjuk teknis mengenai evaluasi penggunaan Obat akan
diatur lebih lanjut oleh
Direktur Jenderal
10. Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan
steril harus dilakukan
di Instalasi
Farmasi dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan
stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat
berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian
Obat.
Farmasi dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan
stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat
berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian
Obat.
Dispensing sediaan
steril bertujuan:
a. menjamin agar pasien menerima Obat sesuai
dengan dosis
yang dibutuhkan;
yang dibutuhkan;
b. menjamin sterilitas dan stabilitas produk;
c. melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan
d. menghindari terjadinya kesalahan pemberian
Obat.
Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi :
Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi :
a. Pencampuran Obat Suntik
Melakukan pencampuran Obat
steril sesuai
kebutuhan pasien yang menjamin kompatibilitas dan
stabilitas Obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang
ditetapkan.
kebutuhan pasien yang menjamin kompatibilitas dan
stabilitas Obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang
ditetapkan.
Kegiatan:
1) mencampur sediaan intravena ke dalam cairan infus;
2) melarutkan sediaan intravena
dalam bentuk serbuk
dengan pelarut yang
sesuai; dan
3) mengemas menjadi sediaan siap pakai.
Faktor yang perlu
diperhatikan:
1) ruangan khusus;
2) lemari pencampuran Biological Safety Cabinet; dan
3) HEPA Filter.
b. Penyiapan Nutrisi
Parenteral
Merupakan kegiatan
pencampuran nutrisi parenteral
yang dilakukan oleh tenaga yang terlatih secara aseptis
sesuai kebutuhan pasien dengan menjaga stabilitas
sediaan, formula standar dan kepatuhan terhadap prosedur
yang menyertai.
yang dilakukan oleh tenaga yang terlatih secara aseptis
sesuai kebutuhan pasien dengan menjaga stabilitas
sediaan, formula standar dan kepatuhan terhadap prosedur
yang menyertai.
Kegiatan dalam dispensing sediaan khusus:
1) Mencampur sediaan karbohidrat, protein,
lipid, vitamin,
mineral untuk kebutuhan
perorangan; dan
2) mengemas ke dalam kantong khusus untuk nutrisi.
Faktor yang perlu
diperhatikan:
1) tim yang terdiri dari dokter, Apoteker, perawat, ahli gizi;
2) sarana dan peralatan;
3) ruangan khusus;
4) lemari pencampuran Biological Safety Cabinet; dan
5) kantong khusus untuk
nutrisi parenteral.
c. Penanganan Sediaan Sitostatik
Penanganan sediaan
sitostatik merupakan penanganan
Obat kanker secara aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai
kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan
pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas
Obat kanker secara aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai
kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan
pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas
maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan
kontaminasi,
dengan menggunakan alat pelindung diri, mengamankan
pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses
pemberian kepada pasien sampai pembuangan limbahnya.
dengan menggunakan alat pelindung diri, mengamankan
pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses
pemberian kepada pasien sampai pembuangan limbahnya.
Secara
operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus sesuai prosedur yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang
memadai.
Kegiatan dalam penanganan
sediaan sitostatik meliputi:
1) melakukan perhitungan dosis secara akurat;
2) melarutkan sediaan Obat kanker dengan
pelarut yang
sesuai;
3) mencampur
sediaan Obat kanker
sesuai dengan
protokol
pengobatan;
4) mengemas dalam kemasan tertentu; dan
5) membuang limbah sesuai prosedur yang
berlaku.
Faktor
yang perlu diperhatikan:
1) ruangan khusus yang dirancang dengan
kondisi yang
sesuai;
2) lemari pencampuran Biological Safety
Cabinet;
3) HEPA filter;
4) Alat Pelindung Diri (APD);
5) sumber daya manusia yang terlatih; dan
6) cara pemberian Obat kanker.
Petunjuk teknis
mengenai dispensing sediaan
steril akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan
Kadar Obat dalam
Darah (PKOD) merupakan
interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas
permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi
yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter.
interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas
permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi
yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter.
PKOD bertujuan:
a. mengetahui Kadar Obat dalam Darah; dan
b. memberikan rekomendasi kepada dokter yang
merawat.
Kegiatan PKOD meliputi:
Kegiatan PKOD meliputi:
a. melakukan penilaian kebutuhan pasien yang
membutuhkan
Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);
Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);
b. mendiskusikan kepada dokter untuk
persetujuan melakukan
Pemeriksaan Kadar Obat
dalam Darah (PKOD); dan
c. menganalisis
hasil Pemeriksaan Kadar
Obat dalam Darah
(PKOD) dan memberikan rekomendasi.
Petunjuk teknis mengenai pemantauan Kadar Obat dalam Darah akan diatur lebih lanjut oleh Direktur
Jenderal.
B. Manajemen Risiko Pelayanan Farmasi Klinik
Beberapa risiko
yang berpotensi terjadi
dalam melaksanakan pelayanan farmasi klinik
adalah:
1. Faktor risiko yang terkait karakteristik
kondisi klinik pasien
Faktor risiko yang terkait
karakteristik kondisi klinik pasien
akan berakibat terhadap kemungkinan kesalahan dalam terapi.
Faktor risiko tersebut adalah umur, gender, etnik, ras, status
kehamilan, status nutrisi, status sistem imun, fungsi ginjal, fungsi
hati.
akan berakibat terhadap kemungkinan kesalahan dalam terapi.
Faktor risiko tersebut adalah umur, gender, etnik, ras, status
kehamilan, status nutrisi, status sistem imun, fungsi ginjal, fungsi
hati.
2. Faktor risiko yang terkait terkait penyakit
pasien
Faktor risiko yang
terkait penyakit pasien terdiri dari 3 faktor
yaitu: tingkat keparahan, persepsi pasien terhadap tingkat
keparahan, tingkat cidera yang ditimbulkan oleh keparahan
penyakit.
yaitu: tingkat keparahan, persepsi pasien terhadap tingkat
keparahan, tingkat cidera yang ditimbulkan oleh keparahan
penyakit.
3. Faktor risiko yang terkait farmakoterapi
pasien
Faktor risiko
yang berkaitan dengan
farmakoterapi pasien meliputi:
toksisitas, profil reaksi
Obat tidak dikehendaki,
rute dan teknik pemberian, persepsi pasien terhadap
toksisitas, rute dan teknik pemberian, dan
ketepatan terapi.
Setelah
melakukan identifikasi terhadap
risiko yang potensial terjadi dalam melaksanakan pelayanan
farmasi klinik, Apoteker kemudian
harus mampu melakukan:
1. Analisa risiko baik secara kualitatif, semi kualitatif,
kuantitatif
dan
semi kuantitatif.
2. Melakukan evaluasi risiko; dan
3. Mengatasi risiko melalui:
a. melakukan sosialisasi terhadap kebijakan pimpinan Rumah
Sakit;
Sakit;
b. mengidentifikasi pilihan tindakan untuk
mengatasi risiko;
c. menetapkan kemungkinan pilihan (cost benefit
analysis);
d. menganalisa risiko yang mungkin masih ada;
dan
e. mengimplementasikan rencana tindakan, meliputi
menghindari risiko, mengurangi risiko,
memindahkan risiko, menahan risiko, dan
mengendalikan risiko.
Pembinaan dan
edukasi Sumber Daya
Manusia (SDM) yang terlibat dalam setiap
tahap manajemen risiko
perlu menjadi salah satu prioritas perhatian. Semakin besar risiko
dalam suatu pemberian layanan
dibutuhkan SDM yang semakin kompeten dan kerjasama tim (baik antar tenaga
kefarmasian dan tenaga
kesehatan lain/multidisiplin)
yang solid. Beberapa unit/area di Rumah Sakit yang memiliki risiko tinggi, antara lain Intensive Care Unit
(ICU),
Unit Gawat Darurat
(UGD), dan kamar operasi (OK).
Makasih Informasinya gan,
BalasHapusKunjungi Juga Blog Saya di https://blog-farmasismuda.blogspot.com.
Tatsujin Tatsujin Tatsujin - Tatsujin Tatsujin Tatsujin - Tatsujin
BalasHapusTatsujin rainbow titanium Tatsujin is a ceramic vs titanium flat iron side scrolling action-adventure game released in 1988 titanium banger on Genesis titanium earrings by SEGA of America, Tatsujin Team, and 2020 escape titanium Tatsujin Team.